Hari itu, Rabu, 26 Maret 2025, notifikasi dari grup WhatsApp muncul di layar Smartphone-ku. Ternyata itu pesan dari dosen yang membagikan sebuah flayer Pelatihan Jurnalistik dengan warna mencolok dengan judul Sekolah Jurnalisme yang diselenggarakan oleh Parboaboa berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Pematangsiantar, Sumatera Utara per April hingga Juni 2025 nanti.
Tanpa pikir panjang, aku langsung tertarik. Ini bukan sembarang pelatihan, tapi program intensif selama tiga bulan! Sebagai mahasiswa Jurnalistik Islam yang sudah masuk tahun kedua, aku merasa kemampuan jurnalistikku masih jauh dari kata matang dan perlu dipertanyakan. Jadi, aku lihat ini sebagai kesempatan emas.
keesokannya, aku mencari tahu bagaimana cara membuat CV yang bagus. Sebab, ini pertama kalinya aku menyusun CV sebagai syarat utama untuk mendaftar pelatihan tersebut. Begitu rampung, segera kukirimkan ke redaksi Parboaboa melalui email. Hari-hari berikutnya, aku jalani proses seleksi dengan harap-harap cemas… dan akhirnya, Alhamdulillah, dinyatakan lolos!
Mendapat kabar tersebut, aku langsung menghubungi pihak program studi. Ternyata mereka mendukung penuh. Bahkan dengan sigap bantu mengurus surat izin dispensasi karena saat ini aku masih berstatus sebagai mahasiswa aktif.
Orang tuaku? Mereka juga mendukung, meski tetap ada kekhawatiran, maklum, ini pertama kalinya aku keluar kota sendiri, jauh dari mereka, dan akan tinggal di lingkungan yang mayoritas non-Islam. Sempat ada diskusi kecil di rumah, penuh tanya dan harap.
“Kamu sudah siap? Udah pertimbangkan semuanya?” Papa dan Mama bertanya.
Aku sempat ragu, tapi aku juga tahu, pengalaman ini tidak datang dua kali. Jadi, aku yakinkan mereka, dan sampaikan bahwa aku bisa menjaga diri dan tujuan ke sana hanya untuk belajar.
Makin dekat hari keberangkatan, makin panik. Tiket belum dapat juga. Susah sekali cari transportasi yang langsung ke Pematangsiantar tanpa transit. Akhirnya, papa turun tangan bantu cari. Dapatlah tiket bus yang bisa langsung berangkat ke sana. Jadwalnya? Besok pagi. Deg-degan!
Keesokan paginya, 13 April 2025, jadwal keberangkatanku. Aku pamit. mama serta kedua saudaraku mengantar sampai depan rumah. Aku tahu ini berat buat mereka dan juga buatku. Tapi yang paling bikin sesak adalah waktu menunggu di loket bersama papa.
Tiba di loket, suasananya sepi, pantas saja sulit mencari tiket, ternyata memang penumpang dengan tujuan yang sama sangat sedikit. Kami duduk berdua sambil bercerita sembari menunggu bus. Bus pun sudah siap, segera aku berdiri dan berpamitan dengan papa sembari meminta doa. Suaranya bergetar saat mendoakan. Aku melangkah masuk bus dengan perasaan campur aduk.
Pagi ke pagi, 26 jam perjalanan aku habiskan dengan duduk diam di dalam bus, pemandangan silih berganti dari jendela ke jendela membuat pikiranku melayang-layang.
Di akhir perjalanan, aku sampai di kota tujuan, Kota Pematangsiantar. Salah satu kota yang tak pernah terbayangkan olehku untuk melangkahkan kaki di sini, kota yang berjarak 1.080 km dari kota asalku, Jambi.
Ketika turun dari bus, hawa panas terminal dan pasar bercampur angin sepoi-sepoi menyelimuti tubuh. Suasana yang sangat berbeda ini membuatku bingung sembari ketakutan, sebab sebelumnya aku mendengar kota ini terkenal dengan tindakan Premanismenya.
“Ini… ke mana ya? Kok belum ada yang jemput?” ucapku cemas dalam hati.
Aku berdiri di pinggir jalan, lihat kanan-kiri, menunggu seseorang datang. Untungnya, beberapa lama kemudian, panitia datang juga dan mengantarku ke kantor tempat pelatihan.
Aku ditempatkan di satu kamar bersama peserta lain dan juga pendatang yang tak kalah jauh asal muasalnya, Sulawesi. Mengetahui hal tersebut, membuat semangat belajar membara dalam diriku, membuat ku tak ingin kalah bersaing untuk belajar selama pelatihan intensif ini.
Dari Materi ke Materi
Tidak banyak waktu untuk istirahat, karena hari itu juga kami mulai kelas pertama. Pemateri pertama kami luar biasa, Kak Nany Alfrida, Ketua AJI Indonesia. Beliau bawakan dua materi sekaligus: soal menjadi jurnalis profesional di era digital, dan bagaimana memperjuangkan hak perempuan, anak, serta kelompok minoritas.
Panas siang itu terasa makin membara karena semangat yang ia tularkan ke kami. Kata Kak Nany, jurnalis sekarang harus bisa melampaui kecepatan media sosial. Tugas kita bukan cuma lapor, tapi menggali, menyampaikan yang bermakna, yang bisa mematahkan stigma dan diskriminasi.
Keesokan harinya, kami kedatangan Dr. Dimpos Manalu dari Universitas HKBP Nommensen. Ia membuka sesi dengan satu pertanyaan ktitis, “Kenapa jurnalis harus tahu politik?” tanyanya.
Dari situ, diskusi kemudian melebar, tapi intinya satu: jurnalis itu intelektual publik. Bukan cuma pencatat peristiwa, tapi juga penggugah kesadaran. Demokrasi kita, kata beliau, masih dikendalikan segelintir elite. Jadi, tugas jurnalis? Harus kritis. Harus melek politik.
Hari ketiga, suasananya sedikit berbeda. Pematerinya adalah Bang Thompson Hs, budayawan sekaligus pendiri PLOt (Pusat Latihan Opera Batak). Materinya: “Akan Kemana Kebudayaan Kita?” Tapi tidak cuma teori, kami diajak praktek juga—latihan vokal, gerakan tubuh. Seru! Bang Thompson bilang, budaya itu bukan cuma warisan, tapi juga tanggung jawab. Dan jurnalis harus jadi bagian dari pelestariannya.
Akhir pekan datang, tapi pelatihan belum libur. Hari itu kami belajar secara daring bersama Bang Abdon Nababan, pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Temanya: “Menegakkan Hak Masyarakat Adat”. Jujur, ini materi yang membuka mata. Aku baru sadar betapa beratnya perjuangan masyarakat adat yang selama ini digusur, hutannya diambil, dan hak-haknya diabaikan. “Mereka itu penjaga alam sejati,” kata Bang Abdon. Dan yang bikin aku tercengang, dia bilang, “Masyarakat adat itu… sudah ‘Kiri’ dari sananya.” Aku mencerna kalimat itu lama. Dalam.
Itu baru minggu pertama. Tapi rasanya sudah seperti perjalanan panjang yang penuh pelajaran. Aku bertemu orang-orang hebat, mendapat ilmu dan wawasan baru selain dari bangku kuliah.
Dan cerita ini baru permulaan. Masih ada dua bulan lebih perjalananku di depan. Kira-kira, seperti apa minggu-minggu selanjutnya? Kita lihat saja nanti.
Tinggalkan Balasan